Berprasangka Baik pada Allah
* Sesuatu yang
Lebih Baik dari Kesenangan Hidup di Dunia
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ
النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga) (Ali-Imran [3]: 14).
قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ
بِخَيْرٍ مِنْ ذَٰلِكُمْ ۚ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ
مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan
kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?". Untuk orang-orang
yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir
dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai)
isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya (Ali-Imran [3]: 15).
الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا
فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya
kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari
siksa neraka," (Ali-Imran [3]: 16).
الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ
وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
(yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar,
yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon
ampun di waktu sahur (Ali-Imran [3]: 17).
* Allah Memberi Rezeki kepada Siapa
yang Dikehendaki-Nya Tanpa
Hisab
إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي
نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
(Ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi
hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah
(nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui" (Ali-Imran [3]: 35).
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي
وَضَعْتُهَا أُنْثَىٰ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ
كَالْأُنْثَىٰ ۖ وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ
وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya,
diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak
perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak
laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia
Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada
(pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk" (Ali-Imran [3]: 36).
فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ
وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ۖ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا
الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۖ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ
حِسَابٍ
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar)
dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan
Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui
Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai
Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab:
"Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki
kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab (Ali-Imran [3]: 37).
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ ۖ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً
طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya
seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak
yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa" (Ali-Imran [3]: 38).
فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ
يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىٰ مُصَدِّقًا
بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ
Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya,
sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya):
"Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang
puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi
ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan
orang-orang saleh" (Ali-Imran [3]: 39).
قَالَ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَقَدْ
بَلَغَنِيَ الْكِبَرُ وَامْرَأَتِي عَاقِرٌ ۖ قَالَ كَذَٰلِكَ اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana
aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan isteriku pun seorang
yang mandul?". Berfirman Allah: "Demikianlah, Allah berbuat apa yang
dikehendaki-Nya" (Ali-Imran [3]: 40).
* Dialog Nabi
Ibrahim dengan Malaikat Izrail
Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa Ibrahim AS adalah seorang laki-laki yang sangat pencemburu. Ia memiliki rumah yang digunakan untuk beribadah. Ketika ia keluar, maka tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki di dalam rumah. Maka Nabi Ibrahim bertanya, “Siapa yang memasukkanmu ke dalam rumahku?”
Laki-laki itu berkata,
“Yang memasukkanku ke dalam rumah adalah yang lebih menguasai rumah ini
daripadaku dan daripadamu/”
Maka Nabi Ibrahim AS
bertanya lagi, “Malaikat apakah engkau ini?”
Laki-laki itu menjawab, “Aku adalah malaikat pencabut nyawa.”
Nabi Ibrahim AS berkata, “Apakah engkau mampu
memperlihatkan kepadaku rupamu ketika engkau mencabut ruh orang mukmin?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya, berpalinglah dariku.”
Maka Nabi Ibrahim berpaling, kemudian ia menoleh.
Tiba-tiba laki-laki itu menjelma menjadi seorang pemuda. Lalu disebutkan
kebagusan wajahnya, keindahan pakaiannya, dan harum baunya.
Lalu Nabi Ibrahim berkata, “Wahai malaikat pencabut
nyawa, kalau orang mukmin ketika hendak mati tidak menjumpai selain rupamu,
maka itu cukup baginya.”
Termasuk di antaranya adalah penyaksian dua malaikat
penjaga. Wuhab berkata: “Telah sampai kepada kami, bahwa tidaklah orang mati
yang mati sehingga dua malaikatnya, yang menulis amalnya, terlihat baginya.
Kalau ia adalah orang yang taat, maka kedua malaikat tersebut berkata, ‘Mudah-mudahan
Allah membalasmu atas jasamu kepada kami dengan kebaikan. Betapa banyak majelis
kebenaran yang engkau dudukkan kami dan amal saleh yang engkau hadirkan kepada
kami.’ Tetapi kalau ia adalah orang zalim, maka kedua malaikat itu berkata
kepadanya, ‘Mudah-mudahan Allah tidak membalasmu dengan kebaikan. Betapa banyak
majelis kejelekan yang engkau dudukkan kami dan amal jelek yang engkau hadirkan
kepada kami, serta perkataan kotor yang engkau perdengarkan kepada kami.’ Maka
demikianlah penglihatan orang mati kepada kedua malaikat itu.” (Mutiara Ihya
Ulumuddin)
(Kemudian Nabi Ibrahim berkata lagi kepada Malaikat
Maut)
Ibrahim: Maukah engkau
menampakkan bentuk dan rupamu ketika mencabut nyawa orang kafir?
Izrail: Engkau tidak akan
tahan menatapku nanti.
Ibrahim: Akan aku kuatkan.
Izrail: Baiklah, berpalinglah
engkau sejenak.
(Seperti semula, Nabi Ibrahim pun mengalihkan
pandangannya dan ketika beliau menoleh kembali maka tiba-tiba Malaikat
Maut(Izrail) telah menjelma sebagai seorang yang hitam legam, semua bulunya
berdiri. Baunya amat busuk, serba hitam pakaiannya, dari mulut dan lubang
hidungnya keluar lidah api dan asap. Maka seketika itu Nabi Ibrahim as yang
pernah lulus dalam ujian menyembelih putra yang dicintainya yaitu Ismail,
pingsan. Dan setelah sadar kembali beliau bersabda
Ibrahim: Andaikata orang-orang kafir dan para
pendurhaka itu tidak menerima siksaan yang lain, kiranya sudah cukuplah ia
tersiksa ketika melihat bentuk dan rupamu tadi. (Ihya Ulumuddin).
Kisah
dialog lain Nabi Ibrahim dengan malaikat maut ditulis oleh Imam Al Qurthubi
dalam At Tadzkirah,
Malaikat
maut datang kepada Nabi Ibrahim ‘alahis salam untuk mencabut nyawanya.
“Wahai Malaikat Maut,” tanya Nabi Ibrahim, “pernahkah engkau melihat seorang kekasih mencabut nyawa kekasihnya?”
Mendengar kata-kata Nabi Ibrahim itu, Malaikat Maut tidak bisa menjawab. Seperti yang ia tahu, Ibrahim memang kekasih Allah.
“Wahai Malaikat Maut,” tanya Nabi Ibrahim, “pernahkah engkau melihat seorang kekasih mencabut nyawa kekasihnya?”
Mendengar kata-kata Nabi Ibrahim itu, Malaikat Maut tidak bisa menjawab. Seperti yang ia tahu, Ibrahim memang kekasih Allah.
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلُ اللَّهِ
Sesungguhnya
Ibrahim adalah kekasih Allah.
فَإِنَّهُ خَلِيلُ الرَّحْمَنِ
Sesungguhnya
Ibrahim adalah kekasih Yang Maha Pemurah
Maka Malaikat Maut kemudian menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menceritakan apa yang dikatakan Nabi Ibrahim, padahal Allah telah mengetahui hal itu.
“Katakan kepada Ibrahim, pernahkah engkau melihat seorang kekasih yang tidak ingin bertemu dengan kekasihnya?”
Saat kalimat itu disampaikan kepada Ibrahim, ia pun berkata kepada Malaikat Maut: “Cabutlah nyawaku sekarang.”
***
Bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa, kematian adalah jalan untuk bertemu dengan kekasihnya; Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah pun mengabarkan bahwa orang-orang yang bertaqwa itu adalah orang-orang yang memang dicintai-Nya.
Maka Malaikat Maut kemudian menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menceritakan apa yang dikatakan Nabi Ibrahim, padahal Allah telah mengetahui hal itu.
“Katakan kepada Ibrahim, pernahkah engkau melihat seorang kekasih yang tidak ingin bertemu dengan kekasihnya?”
Saat kalimat itu disampaikan kepada Ibrahim, ia pun berkata kepada Malaikat Maut: “Cabutlah nyawaku sekarang.”
***
Bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa, kematian adalah jalan untuk bertemu dengan kekasihnya; Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah pun mengabarkan bahwa orang-orang yang bertaqwa itu adalah orang-orang yang memang dicintai-Nya.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa” (QS. At Taubah: 4)
Pernyataan cinta Allah ini tidak hanya disebutkan sekali. Dia bahkan menyebutkannya dua kali, dan dua-duanya ada di surat At Taubah. Yang pertama di ayat 4 dan yang kedua di ayat 7.
Karena menyadari bahwa kematian adalah kepastian sekaligus jalan bertemu dengan kekasihnya, orang yang bertaqwa tidak takut dan tidak pula membenci kematian. Berbeda dengan orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit wahn. Mereka itu..
Pernyataan cinta Allah ini tidak hanya disebutkan sekali. Dia bahkan menyebutkannya dua kali, dan dua-duanya ada di surat At Taubah. Yang pertama di ayat 4 dan yang kedua di ayat 7.
Karena menyadari bahwa kematian adalah kepastian sekaligus jalan bertemu dengan kekasihnya, orang yang bertaqwa tidak takut dan tidak pula membenci kematian. Berbeda dengan orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit wahn. Mereka itu..
حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Cinta
dunia dan takut mati” (HR. Abu Daud)
Kematian
itu jalan untuk bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kita harus menyiapkan
bekalnya. Dan sebaik-baik bekal adalah taqwa.
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
"Dan
berbekallah kamu, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa" (QS. Al Baqarah: 197)
* Kisah Budak yang
Senantiasa Berprasangka Baik pada Allah
Ini kisah tentang seorang ayah dan anak. Sang ayah
bekas budak. Selama menjadi budak, libur Jumat sebagaimana ditetapkan
kesultanan dimanfaatkan untuk habis-habisan bekerja. Dengan dirham demi dirham
yang terkumpul, satu hari dia minta izin untuk menebus dirinya pada sang
majikan. “Tuan”, ujarnya, “Apakah dengan membayar harga senilai
dengan berapa engkau membeliku dulu, aku akan bebas?”. “Ya. Bisa”
ujar sang majikan. “Baik, ini dia.” katanya sambil meletakkan bungkusan
uang itu di hadapan tuannya. “Allah ‘Azza wa Jalla telah membeliku
dari Anda”, lalu Dia membebaskanku. Alhamdulillah. “Maka engkau bebas
karena Allah”, ujar sang tuan tertakjub. Dia bangkit dari duduknya dan
memeluk sang budak. Dia hanya mengambil separuh harga yang tadi disebutkan.
Separuh lagi diserahkannya kembali. “Gunakanlah ini,” katanya berpesan,
“Untuk memulai kehidupan barumu sebagai orang yang merdeka. Aku berbahagia
menjadi sebagian Tangan Allah yang membebaskanmu!” Penuh syukur dan haru,
tapi aku disergap khawatir, dia pamit. “Aku tidak tahu wahai Tuanku yang
baik,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca, “Apakah kebebasan ini rahmat
ataukah musibah. Aku hanya berbaik sangka kepada Allah.”
Tahun demi tahun berlalu. Dia telah menikah. Tetapi
sang istri meninggal ketika menyelesaikan tugasnya, menyempurnakan susuan sang
putra hingga usia dua tahun. Maka dibesarkan putera semata wayangnya itu dengan
penuh kasih. Dididiknya anak lelaki itu untuk memahami agama dan menjalankan
sunnah Nabi, juga untuk bersikap ksatria dan berjiwa merdeka. “Anakku,”
katanya di suatu pagi, “Ayahmu ini dulu seorang budak. Ayahmu ini separuh
manusia di mata agama dan sesama. Tetapi selalu kujaga kehormatan dan
kesucianku, maka Allah memuliakanku dengan membebaskanku. Dan jadilah kita
orang yang merdeka. Ketahuilah Nak, orang bebas yang paling merdeka adalah dia
yang bisa memilih caranya untuk mati dan menghadap Ilahi!” Sang anak
mengangguk-angguk. Sang ayah mengeluarkan kantong berpelisir emas. Dinar-dinar
di dalamnya bergemerincing. “Mari mempersiapkan diri,” bisiknya. “Mari
kita beli yang terbagus dengan harta ini untuk dipersembahkan dalam jihad di
jalanNya. Mari kita belanjakan uang ini untuk mengantar kita pada kesyahidan
dengan sebaik-baik tunggangan.”
Siangnya, mereka pulang dari pasar dengan menuntun seekor kuda perang berwarna hitam. Kuda itu gagah. Surainya mekar menjumbai. Tampangnya mengagumkan. Matanya berkilat. Giginya rapi dan tajam. Kakiknya kekar dan kukuh. Ringkiknya pasti membuat kuda musuh bergidik. Semua tetangga datang untuk mengaguminya. Mereka menyentuhnya, mengelus surainya. “Kuda yang hebat!” kata mereka. “Kami belum pernah melihat kuda seindah ini. Luar Biasa! Mantap sekali! Berapa yang kalian habiskan untuk membeli kuda ini?” Anak itu tersenyum simpul. Yah, itulah simpanan yang dikumpulkan seumur hidup. Para tetangga ternganga mendengar jumlahnya. “Wah”, seru mereka, “Kalian masih waras atau sudah gila? Uang sebanyak itu dihabiskan untuk membeli kuda? Padahal rumah kalian reyot nyaris roboh. Untuk makan besok pun belum tentu ada!” Kekaguman di awal tadi berubah menjadi cemooh. “Tolol!” kata salah satu. “Tak tahu diri!” ujar yang lain. “Pandir!” “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Tapi kami berprasangka baik kepada Allah,” ujar mereka.
Para tetangga pulang. Ayah dan anak itu pun merawat
kudanya dengan penuh cinta. Makanan si kuda dijamin kelengkapannya; rumput
segar, jerami kering, biji-bijian, dedak, air segar, kadang bahkan ditambah
madu. Si kuda dilatih keras, tapi tak dibiarkan lelah tanpa mendapat hadiah.
Kini mereka tak hanya berdua, melainkan bertiga. Bersama-sama menanti panggilan
Allah ke medan jihad untuk menjemput takdir terindah. Sepekan berlalu. Di
sebuah pagi buta ketika sang ayah melongok ke kandang, dia tak melihat apapun.
Kosong. Palang pintunya patah. Beberapa jeruji kayu terkoyak remuk. Kuda itu
hilang! Berduyun-duyun para tetangga datang untuk mengucapkan bela sungkawa.
Mereka bersimpati pada cita-cita tinggi kedua anak ayah itu. Tapi mereka juga
menganggap keduanya kelewatan. “Ah, sayang sekali!” kata mereka, “Padahal
itu kuda terindah yang pernah kami lihat. Kalian memang tidak beruntung. Kuda
itu hanya hadir sejenak untuk memuaskan ambisi kalian, lalu Allah
membebaskannya dan mengandaskan cita-cita kalian!” Sang ayah tersenyum
sambil mengelus kepala anaknya. “Kami tak tahu,” ucap serempak keduanya,
“Ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Mereka pasrah. Mereka mencoba untuk menghitung-hitung
uang dan mengira-ngira, kapan bisa membeli kuda lagi. “Nak,” sang ayah
menatap putranya, “Dengan atau tanpa kuda, jika panggilan Allah datang, kita
harus menyambutnya.” Si anak mengangguk mantap. Mereka kembali bekerja
tekun seakan tak terjadi apapun. Tiga hari kemudian, saat shubuh menjelang,
kandang kuda mereka gaduh dan riuh. Suara ringkikan bersahut-sahutan. Terkejut
dan jaga, ayah dan anak itu berlari ke kandang sambil membenahi pakaiannya. Di
kandang itu mereka temukan kuda hitam yang gagah bersurai indah. Tak salah
lagi, itu kuda mereka yang pergi tanpa pamit tiga hari lalu! Tapi kuda itu tak
sendiri. Ada belasan kuda lain bersamanya. Kuda-kuda liar! itu pasti
kawan-kawannya. Mereka datang dari stepa luas untuk bergabung di kandang si
hitam. Mungkinkah kuda punya akal jernih? Mungkinkah si hitam yang merasa
mendapatkan layanan terbaik di kandang seorang bekas budak mengajak
kawan-kawannya bergabung? Atau tahukah mereka bahwa mendatangi kandang itu
berarti bersiap bertaruh nyawa untuk kemuliaan agama Allah, kelak jka
panggilanNya berkumandang? Atau memang itu yang mereka inginkan? Ketika hari
terang, para tetangga datang dengan takjub. “Luar biasa!” kata mereka. “Kuda
itu pergi untuk memanggil kawan-kawannya dan kini kembali membawa mereka
menggabungkan diri!” Mereka semua mengucapkan selamat pada pemiliknya. “Wah,
kalian sekarang kaya raya! Kalian orang terkaya di kampung ini!” Tapi si
pemilik kembali hanya tersenyum. “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah.
Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Hari berikutnya dengan bahagia, sang putra mencoba
menaiki salah seekor kuda itu. Sukacita dia memacunya ke segala penjuru. Satu
saat, kuda liar itu terkejut ketika berpapasan dengan seekor lembu yang lepas
dari kandang di persimpangan. Dia meronta keras, dan sang penunggang
terbanting. Kakinya patah. Dia meringis kesakitan. Para tetangga datang
menjenguk. Mereka menatap anak itu dengan pandangan penuh iba. “Kami turut
prihatin” kata mereka. “Ternyata kuda itu tidak membawa berkah. Mereka
datang membawa musibah. Alangkah lebih beruntung yang tak memiliki kuda, namun
anaknya sehat sentausa!” Tuan tumah tersenyum lagi. “Kami tak tau, ini
rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah”
Hari berikutnya, hulubalang raja berkeliling negeri.
Dia mengumumkan pengerahan pasukan untuk menghadapi tentara musuh yang telah
menyerang perbatasan. Semua penduduk yang sehat jasmani dan rohani wajib
bergabung untuk mempertahankan negeri. Sayang, perang ini sulit dikatakan
sebagai jihad di jalan Allah karena musuh yang hendak dihadapi adalah sesama
Muslim. Mereka hanya berbeda kesultanan. “Nak,” bisik sang ayah ke
telinga sang putra yang terbaring tak berdaya, “Semoga Allah menjaga kita
dari menumpahkan darah sesama Muslim. Allah Maha Tahu, kita ingin berjihad di
jalanNya. Kita sama sekali tak hendak beradu senjata dengan orang-orang
beriman. Semoga Allah membebaskan diri kita dari beban itu!” Mereka
berpelukan. Petugas pendaftaran mendatangi tiap rumah dan membawa para pemuda
yang memenuhi syarat. Saat memasuki rumah ayah dan anak pemilik kuda, mereka
mendapai putranya terbaring di tempat tidur dengan kaki terbebat, disangga kayu
dan dibalut kain. “Ada apa dengannya?” “Tuan prajurit,” kata sang
ayah, “Anak saya ini begitu ingin membela negeri dan dia telah berlatih untuk
itu. Tetapi kemudian dia jatuh dari kuda ketika sedang mencoba menjinakkan kuda
liar kami. Kakinya patah.” “Ah, sayang sekali!” kata Sang
Hulubalang. “Padahal kulihat dia begitu gagah. Dia pasti akan menjadi
seorang prajurit tangguh. Tapi baiklah. Dia tak memenuhi syarat. Maafkan aku,
aku tak bisa mengikutsertakannya!” Dan hari itu, para tetangga yang
ditinggal pergi putra-putranya menjadi prajutit mendatangi si pemilik kuda. “Ah,
nasib!” kata mereka. “Kami kehilangan anak-anak lelaki kami, tumpuan
harapan keluarga. Kami melepas mereka tanpa tahu apakah mereka akan kembali
atau tidak. Sementara putramu tetap bisa di rumah karena patah kakinya. Kalian
begitu beruntung! Allah menyayangi kalian!” Tuan rumah ikut bersedih
melihat mendung di wajah-wajah itu. Kali ini bapak dan anak itu tak tersenyum.
Tapi ucapan mereka kembali bergema, “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah.
Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Sebulan kemudian, kota itu dipenuhi ratapan para ibu
dan isak tangis para istri. Sementara para lelaki hanya termangu dan tergugu.
Kabarnya telah jelas. Semua pemuda yang diberangkatkan perang tewas di medan
tempur. Tapi agaknya para warga telah belajar banyak dari ayah beranak pemilik
kuda. Seluruh penduduk kota kini menggumamkan kalimat indah itu. “Kami tak
tahu ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Singkat cerita, tak berapa lama kemudian panggilan jihad yang sebenarnya
bergema. Pasukan Mongol dipimpin Hulagu Khan menyerbu wilayah Islam dan
membumihanguskannya hingga rata dengan tanah. Orang-orang tak
berperikemanusiaan itu mengalir bagai air bah meluluhlantahkan peradaban. Ayah
dan anak itu pun menyongsong janjinya. Mereka bergegas menyambut panggilan
dengan kalimat agungnya, “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya
berprasangka baik kepada Allah!” Mereka memang menemui syahid. Tapi sebelum
itu, ada selaksa nikmat yang Allah karuniakan kepada mereka untuk dirasai. Sang
anak pernah tertangkap pasukan Mongol dan dijual sebagai budak. Dia
berpindah-pindah tangan hingga kepemilikannya jatuh kepada Al-Kamil, seorang
Sultan Ayyubiyah di Kairo. Ketika pemerintahan Mamluk menggantikan wangsa
Ayyubiyah di Mesir, kariernya menanjak cepat dari komandan kecil menjadi
panglima pasukan, lalu Amir wilayah. Terakhir, setelah wafatnya Az-Zahir
Ruknuddin Baibars, dia diangkat menjadi Sultan. Namanya Al-Manshur Saifuddin
Qalawun (Dalam Dekapan Ukhuwah).
Liqo’ 6 Oktober 2016
- Ustadz. Wiranto
- At Tadzkirah - Imam Al Qurthubi dalam http://www.tarbiyah.net/2016/03/dialog-rahasia-kematian-antara-nabi.html
-Dalam Dekapan Ukhuwah – Salim A. Fillah dalam https://www.facebook.com/notes/mira-mustika/kami-tak-tahu-ini-rahmat-atau-musibah-tapi-kami-berprasangka-baik-pada-allah-dal/516590218402488/
- Ihya Ulumuddin - Al Ghazali dalam http://islamcahaya.blogspot.co.id/2011/10/kematian-pintu-alam-barzah-part-2.html
- Mutiara Ihya Ulumuddin – Al Ghazali (books.google.co.id)
- Ustadz. Wiranto
- At Tadzkirah - Imam Al Qurthubi dalam http://www.tarbiyah.net/2016/03/dialog-rahasia-kematian-antara-nabi.html
-Dalam Dekapan Ukhuwah – Salim A. Fillah dalam https://www.facebook.com/notes/mira-mustika/kami-tak-tahu-ini-rahmat-atau-musibah-tapi-kami-berprasangka-baik-pada-allah-dal/516590218402488/
- Ihya Ulumuddin - Al Ghazali dalam http://islamcahaya.blogspot.co.id/2011/10/kematian-pintu-alam-barzah-part-2.html
- Mutiara Ihya Ulumuddin – Al Ghazali (books.google.co.id)