Hikmah

Hikmah

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al-Baqarah[2]: 151)
Seperti sebuah gelas yang kotor akan diisi dengan air. Terlebih dahulu gelas tersebut dibersihkan baru kemudian diisi dengan air. Demikian pula kita agar bisa menerima ilmu dengan baik perlu ikhlas dan membersihkan diri dari hal-hal yang mengganggu.
Allah mengajarkan kepadamu al-kitab dan al-hikmah, ada perbedaan antara ilmu dengan hikmah. Murid yang menyimak pengajaran guru di tempat yang sama, waktu yang sama, dengan materi yang sama bisa memiliki pemahaman dan dampak terhadap diri yang berbeda-beda.
Ada sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
“Umar Pernah mengajakku dalam sebuah majelis orang dewasa, sehingga sebagian sahabat bertanya “Mengapa si anak kecil ini kau ikut sertakan, kami juga punya anak-anak kecil seperti dia?” Umar menjawab, “Seperti itulah yang kalian tahu.”
Suatu hari Umar mengundang mereka dan mengajakku bersama mereka. Seingatku, Umar tidak mengajakku saat itu selain untuk mempertontonkan kepada mereka kualitas keilmuanku. Lantas Umar bertanya, “Bagaimana komentar kalian tentang ayat (yang artinya), “Seandainya pertolongan Allah dan kemenangan datang (1) dan kau lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong (2) –hingga akhir surat. (QS. An Nashr[110]: 1-3). Sebagian sahabat berkomentar (menafsirkan ayat tersebut), “Tentang ayat ini, setahu kami, kita diperintahkan agar memuji Allah dan meminta ampunan kepada-Nya, ketika kita diberi pertolongan dan diberi kemenangan.” Sebagian lagi berkomentar, “Kalau kami tidak tahu.” Atau bahkan tidak ada yang berkomentar sama sekali. Lantas Umar bertanya kepadaku, “Wahai Ibnu Abbas, beginikah kamu menafsirkan ayat tadi? “Tidak”, jawabku. “Lalu bagaimana tafsiranmu?”, tanya Umar. Ibnu Abbas menjawab, “Surat tersebut adalah pertanda wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah dekat. Allah memberitahunya dengan ayatnya: “Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan’, itu berarti penaklukan Makkah dan itulah tanda ajalmu (Muhammad), karenanya “Bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampunan, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.” Kata Umar, “Aku tidak tahu penafsiran ayat tersebut selain seperti yang kamu (Ibnu Abbas) ketahui.”” (HR. Bukhari no. 4294)

Semua orang bisa menjadi pintar. Sesuai dengan sunnatullah, asal rajin belajar dengan sungguh-sungguh pasti pintar. Namun tidak dengan hikmah. Orang yang pintar belum tentu bisa mengajarkan ilmunya dengan baik ke orang lain. Orang yang pintar belum tentu bisa menjadi teladan bagi orang lain untuk berubah menjadi lebih baik. Orang yang pintar belum tentu memiliki akhlak yang baik.
Sementara orang yang memiliki hikmah dia bisa mengajarkan ilmunya dengan baik ke orang lain. Orang lain bisa memahaminya dan tergerak untuk mengamalkan ilmu yang telah diajarkan. Orang yang memiliki hikmah punya akhlak yang baik. Orang yang memiliki hikmah, ilmunya berkah dan memberikan kebermanfaatan bagi orang banyak.
Oleh karena itu penting sebelum menuntut ilmu untuk mempelajari adab dan akhlak.
Imam Malik pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,
تعلم من أدبه قبل علمه
“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”
Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”
Ibnul Mubarok berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”


Ibnu Sirin berkata,
كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”

Menolak Mafsadat (Kejelekan) Didahulukan daripada Mengambil Maslahat (Kebaikan)

Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْم
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am[6]:108)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan sejumlah cabang yang bersumber dari kaidah “menolak mafsadat lebih utama daripada mengambil maslahat”. beliau rahimahullah menyampaikan “apabila betemu antara maslahat dan mafsadat, kebaikan dan kejelekan, atau saling berbenturan, maka wajib menimbang yang paling kuat di antara keduanya”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga merinci bahwa ukuran maslahat dan mafsadat harus diukur dengan timbangan syariat. Atas dasar ini, jika ada seseorang atau kelompok yang di dalamnya tergabung hal-hal ma’ruf dan mungkar – dan mereka tidak bisa memisahkan antara keduanya, bahkan mereka mengerjakan semuanya atau meninggalkan semuanya – maka orang/kelompok tersebut tidak boleh diperintah mengerjakan hal ma’ruf atau dicegah dari kemungkaran kecuali setelah permasalahan tersebut diteliti.
1.    Jika perkara ma’rufnya lebih banyak maka: [i] Hal tersebut diperintahkan walau berkonsekuensi melahirkan kemungkaran yang lebih kecil; [ii] Jangan dicegah dari kemungkaran jika berkonsekuensi hilangnya perkara ma’ruf yang lebih besar. Karena mencegah orang/kelompok tersebut pada kondisi ini termasuk usaha untuk menghilangkan ketaatan kepada-Nya dan Rasul-nya serta menghilangkan perbuatan baik.
2.    Jika kemungkaran lebih besar maka perbuatan tersebut harus dicegah walaupun berkonsekuensi menghilangkan perkara ma’ruf yang lebih ringan. Dalam kondisi seperti ini, memerintahkan kepada yang ma’ruf dengan melahirkan kemungkaran yang lebih besar termasuk perkara mungkar dan merupakan usaha yang mendukung kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
3.    Jika ma’ruf dan mungkar berimbang dan saling berkaitan, maka tidaklah diperintahkan kepada keduanya, dan terkadang baik untuk diperintahkan juga terkadang baik untuk dicegah, dan terkadang tidak baik untuk diperintah atau tidak baik utuk dicegah karena yang ma’ruf dan yang mungkar saling berkaitan. Hal itu kadang terjadi pada kasus tertentu.
4.    Adapun dari sisi jenisnya maka diperintahkan kepada yang ma’ruf secara mutlak, dan dilarang dari yang mungkar secara mutlak pula. Penerapannya pada diri seseorang dan sebuah kelompok adalah dengan memerintahkannya kepada perkara ma’ruf dan mencegahnya dari kemungkaran. Perbuatan tersebut terpuji bila perintah kepada yang ma’ruf tidak menimbulkan hilangnya pekara ma’ruf yang lebih besar atau melahirkan kemungkaran yang lebih besar. Juga apabila mencegah kemungkaran tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar atau hilangnya perkara ma’ruf yang lebih banyak. (Majmu’ Al-Fatawa, 28:128–131; kitab Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 21)


Postingan populer dari blog ini

Hadits Qudsi Tentang Surat Al-Fatihah

Balasan Kebaikan

Kewajiban Haji